Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) sebagai organisasi tertinggi penyelenggara dan pembinaan sepak bola di Indonesia punya tanggung jawab yang tidak ringan. PSSI bertanggung jawab menyelenggarakan kompetisi dalam negeri yang muaranya ialah tim nasional yang tangguh dan berprestasi.
Karena sepak bola adalah olahraga terpopuler di negeri ini tak heran jika PSSI sering menjadi sorotan masyarakat dan media serta ajang perebutan kekuasaan kekuatan politik.
Meski Indonesia negara yang sangat luas dan berpenduduk lebih dari 220 juta orang, prestasi sepak bola nasional sangat memprihatinkan. Dari peringkat dunia terbaru yang dirilis oleh FIFA, Indonesia menduduki peringkat 131 dunia, di bawah Thailand (120) dan Singapura-Vietnam (129).
Padahal dukungan masyarakat tidak pernah surut untuk tim nasional Indonesia. Pemain bintang pun selalu muncul di setiap zamannya, mulai era Ronny Pattinarasani, Rusdy Bahalwan, Danurwindo, Iswadi Idris, Bambang Nurdiansyah, Ruly Nere, Ricky Yakobi, Kurniawan Dwi Yulianto hingga Bambang Pamungkas dan Irfan Bachdim. Roda kompetisi pun sudah bergulir di tanah air sejak akhir 1970-an lewat kompetisi Perserikatan, Galatama sampai Liga Super Indonesia (LSI).
Tapi tetap saja hasilnya nol besar!
Apa yang kurang? Sebenarnya jika ditelusuri satu persatu tentu penyakit sepak bola Indonesia sangat banyak. Mulai dari fasilitas lapangan sepak bola, stadion, sekolah/akademi sampai sumber daya manusianya yang jumlah dan mutunya rendah.
Bayangkan selama 30 tahun lebih masyarakat sepak bola cuma mengenal satu stadion berstandar FIFA yaitu stadion Gelora Bung Karno Senayan.
Kini pengurus PSSI yang baru pimpinan Djohar Arifin Husin dan Farid Rahman punya tugas yang 'sama' dengan pengurus-pengurus lalu: 1. Menghasilkan kompetisi yang profesional dan bermutu; 2. Tim nasional Indonesia yang punya prestasi mengkilap mulai dari level junior sampai senior.
Di banyak federasi sepak bola di Eropa, Amerika Latin sampai beberapa negara Asia, mereka memiliki jabatan Direktur Teknik dan Direktur Kompetisi.
Direktur Teknik bertanggung jawab merumuskan konsep dan landasan tim nasional akan seperti apa dalam lima, 10, 15 atau 25 tahun ke depan. Baik untuk di level senior sampai tingkat junior (kelompok umur). Seperti pola pembinaan dan pembibitan pemain muda, kaderisasi jenjang karier pemain di tim nasional, gaya permainan tim nasional, turnamen besar yang menjadi target juara, pola pemusatan pelatihan tim nasional sampai formasi saat bermain.
Direktur Teknik juga bertanggung jawab memilih atau memberikan syarat-syarat sosok pelatih kepala dan staf pendukung kepelatihan yang akan ditunjuk bagi tim nasional. Syarat-syarat tersebut tentunya dibuat berdasarkan kebutuhan tim nasional, rencana yang sudah disusun, kultur sepak bola Indonesia sampai turnamen yang akan dihadapi. Dan semuanya dibuat untuk rencana jangka panjang.
Direktur Teknik bisa menyetujui atau menolak calon pelatih sampai staf kepelatihan yang akan ditunjuk. Sebaiknya jabatan Direktur Teknik diduduki secara kolektif karena tugasnya tidak hanya mencakup satu bidang saja.
Jika PSSI memiliki fungsi Direktur Teknik, maka kasus 'asal pecat' yang menimpa pelatih Alfred Riedl tidak akan terjadi. Penunjukan atau pemecatan pelatih dan stafnya didasarkan oleh kebutuhan tim dan analisis dari tim Direktur Teknik. Ketua Umum PSSI dan anggota komite eksekutif membuat keputusan yang berkaitan dengan tim nasional berdasarkan rekomendasi dari Direktur Teknik.
Untuk Direktur Kompetisi tugasnya tak kalah berat. Menyusun konsep dan menjalankan roda kompetisi. Mulai dari aturan, sisi bisnis, sarana dan prasarana, sumber daya manusia sampai pembinaan pemain muda. Direktur Kompetisi harus bisa membuat kompetisi liga Indonesia berjalan dengan penuh profesionalisme, tanpa pengaturan skor dan mementingkan pembinaan pemain muda. Termasuk jadwal kompetisi dalam negeri yang disesuaikan dengan kalendar internasional FIFA.
Direktur Teknik dan Direktur Kompetisi harus punya kesepahaman, visi dan misi yang sama mengenai pola pembinaan pemain muda yang akan dijabarkan ke semua klub peserta liga, mulai dari kasta teratas sampai yang amatir. Karena di klub-lah ujung tombak pembinaan pemain muda yang berkualitas.
Dua posisi ini selama bertahun-tahun selalu dilupakan oleh para pengurus PSSI. Di era Nurdin Halid ada Badan Tim Nasional (BTN) dan Badan Liga Indonesia (BLI). BTN mengurusi persiapan tim nasional sedangkan BLI bertanggung jawab terhadap tetek bengek roda kompetisi LSI, Divisi Utama, Divisi 1 dan 2 sampai Liga Amatir.
Sayangnya dua lembaga ini, harus diakui, diisi oleh orang-orang yang 'dekat' dengan pengurus atau 'pemodal' PSSI. Bukan orang-orang yang berprestasi, paham atau berpengalaman lama di sepak bola. Hasilnya: Kita semua bisa menilainya.
Sudah saatnya PSSI di era Djohar Arifin menggunakan tenaga-tenaga profesional, berpengalaman dan berprestasi untuk jabatan Direktur Teknik dan Direktur Kompetisi. Mereka bisa kita sewa dari beberapa negara yang sepak bolanya terbukti maju. Bisa dari Jepang, Korea Selatan, Jerman, Inggris, Spanyol atau Belanda.
Untuk posisi Direktur Teknik, PSSI bisa mengontrak mantan pemain atau mantan pelatih asing yang sudah terbukti memiliki prestasi internasional. Sang Direktur Teknik bisa membawa staf 'pilihannya' yang akan ditugasi mengurusi pembinaan pemain muda, timnas senior, timnas junior, stamina pemain, mental, gizi, urusan medis sampai sport science.
Namun mereka tak boleh menjabat di posisi pelatih kepala atau staf kepelatihan tim nasional. Tugas mereka mengawasi, memberikan supervisi dan koreksi kepada pelatih kepala dan staf kepelatihan timnas berdasarkan rencana yang sudah disusun.
Begitupula di jabatan Direktur Kompetisi. Kita bisa menyewa tenaga-tenaga konsultan profesional yang punya pengalaman menyelenggarakan kompetisi sepak bola yang profesional dan modern. Tugas mereka juga bukan cuma memberikan masukan, tapi terjun langsung, membuat aturan dan mengambil keputusan strategis mengenai roda kompetisi tanah air.
Untuk merealisasikan hal-hal seperti di atas tentu butuh dana yang banyak. Karena mempekerjakan tenaga-tenaga asing yang profesional tidaklah murah. Ini menjadi tugas PSSI untuk mencari sponsor dan mempertanggungjawabkan secara terbuka penggunaan dananya.
Pemerintah pun tak boleh menutup mata untuk hal ini. Menyediakan dana dan sarana pendukung membutuhkan peran pemerintah pusat.
Kita semua harus mengakui kalau kualitas dan integritas sebagian pelaku sepak bola di tanah air masih tidak bermutu. Sebagian dari mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompok, partai politik sampai memperkaya diri sendiri.
Jika ingin sepak bola Indonesia berprestasi internasional memang dibutuhkan pengorbanan yang banyak, menekan ego pribadi, kelompok dan partai politik.
Dan ingat, jika sepak bola, juga olahraga Indonesia berprestasi, lagu kebangsaan 'Indonesia Raya' dan bendera merah putih bisa berada di atas simbol-simbol bangsa lain.
Karena sepak bola adalah olahraga terpopuler di negeri ini tak heran jika PSSI sering menjadi sorotan masyarakat dan media serta ajang perebutan kekuasaan kekuatan politik.
Meski Indonesia negara yang sangat luas dan berpenduduk lebih dari 220 juta orang, prestasi sepak bola nasional sangat memprihatinkan. Dari peringkat dunia terbaru yang dirilis oleh FIFA, Indonesia menduduki peringkat 131 dunia, di bawah Thailand (120) dan Singapura-Vietnam (129).
Padahal dukungan masyarakat tidak pernah surut untuk tim nasional Indonesia. Pemain bintang pun selalu muncul di setiap zamannya, mulai era Ronny Pattinarasani, Rusdy Bahalwan, Danurwindo, Iswadi Idris, Bambang Nurdiansyah, Ruly Nere, Ricky Yakobi, Kurniawan Dwi Yulianto hingga Bambang Pamungkas dan Irfan Bachdim. Roda kompetisi pun sudah bergulir di tanah air sejak akhir 1970-an lewat kompetisi Perserikatan, Galatama sampai Liga Super Indonesia (LSI).
Tapi tetap saja hasilnya nol besar!
Apa yang kurang? Sebenarnya jika ditelusuri satu persatu tentu penyakit sepak bola Indonesia sangat banyak. Mulai dari fasilitas lapangan sepak bola, stadion, sekolah/akademi sampai sumber daya manusianya yang jumlah dan mutunya rendah.
Bayangkan selama 30 tahun lebih masyarakat sepak bola cuma mengenal satu stadion berstandar FIFA yaitu stadion Gelora Bung Karno Senayan.
Kini pengurus PSSI yang baru pimpinan Djohar Arifin Husin dan Farid Rahman punya tugas yang 'sama' dengan pengurus-pengurus lalu: 1. Menghasilkan kompetisi yang profesional dan bermutu; 2. Tim nasional Indonesia yang punya prestasi mengkilap mulai dari level junior sampai senior.
Di banyak federasi sepak bola di Eropa, Amerika Latin sampai beberapa negara Asia, mereka memiliki jabatan Direktur Teknik dan Direktur Kompetisi.
Direktur Teknik bertanggung jawab merumuskan konsep dan landasan tim nasional akan seperti apa dalam lima, 10, 15 atau 25 tahun ke depan. Baik untuk di level senior sampai tingkat junior (kelompok umur). Seperti pola pembinaan dan pembibitan pemain muda, kaderisasi jenjang karier pemain di tim nasional, gaya permainan tim nasional, turnamen besar yang menjadi target juara, pola pemusatan pelatihan tim nasional sampai formasi saat bermain.
Direktur Teknik juga bertanggung jawab memilih atau memberikan syarat-syarat sosok pelatih kepala dan staf pendukung kepelatihan yang akan ditunjuk bagi tim nasional. Syarat-syarat tersebut tentunya dibuat berdasarkan kebutuhan tim nasional, rencana yang sudah disusun, kultur sepak bola Indonesia sampai turnamen yang akan dihadapi. Dan semuanya dibuat untuk rencana jangka panjang.
Direktur Teknik bisa menyetujui atau menolak calon pelatih sampai staf kepelatihan yang akan ditunjuk. Sebaiknya jabatan Direktur Teknik diduduki secara kolektif karena tugasnya tidak hanya mencakup satu bidang saja.
Jika PSSI memiliki fungsi Direktur Teknik, maka kasus 'asal pecat' yang menimpa pelatih Alfred Riedl tidak akan terjadi. Penunjukan atau pemecatan pelatih dan stafnya didasarkan oleh kebutuhan tim dan analisis dari tim Direktur Teknik. Ketua Umum PSSI dan anggota komite eksekutif membuat keputusan yang berkaitan dengan tim nasional berdasarkan rekomendasi dari Direktur Teknik.
Untuk Direktur Kompetisi tugasnya tak kalah berat. Menyusun konsep dan menjalankan roda kompetisi. Mulai dari aturan, sisi bisnis, sarana dan prasarana, sumber daya manusia sampai pembinaan pemain muda. Direktur Kompetisi harus bisa membuat kompetisi liga Indonesia berjalan dengan penuh profesionalisme, tanpa pengaturan skor dan mementingkan pembinaan pemain muda. Termasuk jadwal kompetisi dalam negeri yang disesuaikan dengan kalendar internasional FIFA.
Direktur Teknik dan Direktur Kompetisi harus punya kesepahaman, visi dan misi yang sama mengenai pola pembinaan pemain muda yang akan dijabarkan ke semua klub peserta liga, mulai dari kasta teratas sampai yang amatir. Karena di klub-lah ujung tombak pembinaan pemain muda yang berkualitas.
Dua posisi ini selama bertahun-tahun selalu dilupakan oleh para pengurus PSSI. Di era Nurdin Halid ada Badan Tim Nasional (BTN) dan Badan Liga Indonesia (BLI). BTN mengurusi persiapan tim nasional sedangkan BLI bertanggung jawab terhadap tetek bengek roda kompetisi LSI, Divisi Utama, Divisi 1 dan 2 sampai Liga Amatir.
Sayangnya dua lembaga ini, harus diakui, diisi oleh orang-orang yang 'dekat' dengan pengurus atau 'pemodal' PSSI. Bukan orang-orang yang berprestasi, paham atau berpengalaman lama di sepak bola. Hasilnya: Kita semua bisa menilainya.
Sudah saatnya PSSI di era Djohar Arifin menggunakan tenaga-tenaga profesional, berpengalaman dan berprestasi untuk jabatan Direktur Teknik dan Direktur Kompetisi. Mereka bisa kita sewa dari beberapa negara yang sepak bolanya terbukti maju. Bisa dari Jepang, Korea Selatan, Jerman, Inggris, Spanyol atau Belanda.
Untuk posisi Direktur Teknik, PSSI bisa mengontrak mantan pemain atau mantan pelatih asing yang sudah terbukti memiliki prestasi internasional. Sang Direktur Teknik bisa membawa staf 'pilihannya' yang akan ditugasi mengurusi pembinaan pemain muda, timnas senior, timnas junior, stamina pemain, mental, gizi, urusan medis sampai sport science.
Namun mereka tak boleh menjabat di posisi pelatih kepala atau staf kepelatihan tim nasional. Tugas mereka mengawasi, memberikan supervisi dan koreksi kepada pelatih kepala dan staf kepelatihan timnas berdasarkan rencana yang sudah disusun.
Begitupula di jabatan Direktur Kompetisi. Kita bisa menyewa tenaga-tenaga konsultan profesional yang punya pengalaman menyelenggarakan kompetisi sepak bola yang profesional dan modern. Tugas mereka juga bukan cuma memberikan masukan, tapi terjun langsung, membuat aturan dan mengambil keputusan strategis mengenai roda kompetisi tanah air.
Untuk merealisasikan hal-hal seperti di atas tentu butuh dana yang banyak. Karena mempekerjakan tenaga-tenaga asing yang profesional tidaklah murah. Ini menjadi tugas PSSI untuk mencari sponsor dan mempertanggungjawabkan secara terbuka penggunaan dananya.
Pemerintah pun tak boleh menutup mata untuk hal ini. Menyediakan dana dan sarana pendukung membutuhkan peran pemerintah pusat.
Kita semua harus mengakui kalau kualitas dan integritas sebagian pelaku sepak bola di tanah air masih tidak bermutu. Sebagian dari mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompok, partai politik sampai memperkaya diri sendiri.
Jika ingin sepak bola Indonesia berprestasi internasional memang dibutuhkan pengorbanan yang banyak, menekan ego pribadi, kelompok dan partai politik.
Dan ingat, jika sepak bola, juga olahraga Indonesia berprestasi, lagu kebangsaan 'Indonesia Raya' dan bendera merah putih bisa berada di atas simbol-simbol bangsa lain.
0 komentar:
Posting Komentar