Rayuan Pulau Kelapa, Sepasang Mata Bola, Gugur Bunga dan ratusan lagu perjuangan atau nasional sudah diciptakan oleh Ismail Marzuki. Ia menciptakan itu, tanpa layanan RBT, tanpa memikirkan royalti. 250 lagu lebih ia telah ciptakan selama tahun 30-50. Kita kerap menyanyikannya di waktu-waktu tertentu. Tapi bagaimana dengan kehidupan keluarga besar Ismail Marzuki sekarang?
Nama besar Ismail Marzuki, kini tak bisa lagi banyak membantu Rachmi Aziah Ismail Marzuki. Putri tunggal komponis Indonesia itu, harus bekerja apa saja, untuk membayar kontrakannya. Rachmi Aziah Ismail Marzuki, adalah putri tunggal Ismail Marzuki. Dia mengungkapkan bahwa saat ini yang penting bagi hidupnya adalah: memikirkan bagaimana dia tidak terusir dari kontrakannya. Ya, Rachmi memang memiliki nama besar di belakang namanya: Ismail Marzuki. Tapi, perjalanan hidupnya, berjalan berat. Selama bertahun-tahun, Rachmi hidup mengontrak.
Putri satu-satunya Komponis sekaligus pahlawan Nasional itu sedang bergelut dalam kemiskinan. Bahkan ia nyaris tak mampu memperpanjang usia kontrakannya yang hampir habis. Bantuan pemerintah sebesar 1,5 juta sering terlambat, katanya. Uang sebesar itu dibayar pemerintah setiap empat bulan. Untuk memperpanjang hidup, Rachmi Aziah Ismail Marzuki, 60, harus berhutang. Selama enam tahun terakhir ini, dia dan suaminya mengontrak di Perumahan Bappenas, Blok A 12, Cinangka, Wates, Sawangan, Depok. Dan sudah enam tahun itu pula, dia terpaksa mengutang uang kontrakan, karena tak mampu membayar.
"Meski pemilik kontrakan baik sekali sama saya dan kasih saya keringanan, tapi lama kelamaan tidak enak juga mas. Sampai sekarang saya belum bisa bayar kontrakannya," ujarnya. Rachmi memiliki empat anak ini. Tapi, saat ini di rumah kontrakan yang terletak di Depok, dia hanya tinggal berdua dengan suaminya, Muhammad Benny. Sementara anak-anaknya yang sudah berkeluarga sudah pisah rumah.
Ketika ditanya apakah tidak pernah ada bantuan dari pemerintah untuk keluarga Ismail Marzuki, Rachmi mengatakan ada. "Ada. Tahun 2004, Bapak Ismail Marzuki mendapatkan anugerah pahlawan nasional dari Presiden SBY. Dari situ kita mendapat Rp 1.5 juta perbulan sebagai tunjangan," ujarnya.
"Tapi, ada peraturan uang itu dirapel pertiga bulan sekali baru bisa diambil. Ya, begitu keluar langsung habis untuk bayar kebutuhan hidup. Tidak bisa ditabung untuk biaya kontrakan," tambahnya. Karenanya, untuk biaya hidup sehari-hari, anak Komponis besar Indonesia, Ismail Marzuki ini, harus berdagang menjual minuman ringan.
"Kebetulan di depan rumah saya ada sekolah SD. Saya bisa dagang, setiap hari bisa dapat Rp 30.000, lumayan untuk makan sehari-hari," ujarnya.
"Tapi, itu pun biasanya habis dan tidak ada yang ditabung. Jadi, saya masih mikir gimana caranya membayar utang kontrakan rumah," tambahnya.
Sebuah berita yang sungguh mengenaskan, menjadi anak seorang pahlawan nasional ternyata tidak menjamin kemapanan ekonomi. Kita prihatin pada diri kita sendiri, yang tidak begitu menghargai keluarga pahlawan kita sendiri. Berapa harga yang pantas kita berikan untuk pahlawan nasional? Pahlawan olahraga kita hargai dengan nilai ratusan juta rupiah. Ironis sekali. Untuk sebuah medali emas, kita pernah mengganjarnya dengan nilai 1 milyar.
Lantas, berapa harga lagu-lagu Ismail Marzuki, yang pernah membakar semangat juang anak bangsa ini? Ismail Marzuki tidak pernah meminta bayaran untuk itu. Tapi, kita sepatutnya, menghargainya dengan sepantasnya.
0 komentar:
Posting Komentar