Di antara kerumunan massa di Lapangan Tahrir Kairo Mesir, lelaki kurus dengan janggut yang sebagian telah memutih, menenteng sebuah kertas kardus. Di atas kardus itu tertulis kalimat dalam bahasa Arab.
"Syukran Syabab Mishr (Terima kasih, pemuda Mesir)." Di bawah tulisan Arab itu, terpampang jelas tulisan latin yang lebih besar dengan spidol merah. "Facebook."
Momen itu diabadikan oleh wartawan NBC Robert Engel dan kemudian beredar luas melalui jejaring mikroblog Twitter. Facebook dan Twitter memang memiliki peran sentral dalam memobilisasi aksi massa demonstran di Mesir, yang kemudian berhasil menumbangkan Presiden Hosni Mubarak. Tak heran bila kemudian seorang bayi yang lahir di wilayah Ibrahimya, Mesir, diberi nama 'Facebook' untuk mengabadikan momentum revolusi Mesir, yang dimulai dari situs jejaring sosial itu. Di dalam negeri, kekuatan jejaring sosial juga tercatat dalam berbagai peristiwa besar, mulai dari mobilisasi dukungan terhadap Prita Mulyasari hingga gerakan pembebasan pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah.
Kehebatan jejaring sosial dalam menghimpun masa dan menyampaikan pesan dalam sekejap ke jutaan orang ternyata juga mengundang intelejen untuk mengawasinya. Seperti dikatakan Ketua Badan Intelijen Negara (BIN), Sutanto, bahwa intelijen akan memantau penggunaan jejaring sosial yang mengarah ke teror dan subversif. "Yang membahayakan tentu kami pantau, yang arahnya teror dan subversif tentu kami pantau," kata Sutanto seusai rapat dengan Komisi I DPR, Selasa 22 Maret 2011, Namun, kata Sutanto, BIN hanya menjadi lembaga yang membantu memberikan informasi dini. Data awal itu nantinya akan diserahkan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika. "Menkominfo yang akan menentukan langkahnya." Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kementerian Kominfo, Gatot S Dewabroto, menjelaskan bahwa proses pemantauan dan pengintaian terhadap akun Facebook atau Twitter terhadap seseorang tak bisa dilakukan dengan mudah.
Pasalnya, beberapa regulasi mengatur hal ini dengan ketat. Misalnya, Undang-Undang Telekomunikasi No 36 Tahun 1999, pasal 40 dan 42, melarang adanya penyadapan informasi apapun kecuali adanya permintaan dari Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian RI, atau pihak penyidik. Selain itu, kata Gatot, peraturan di Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), juga mengaturnya secara ketat di pasal 27-35. "Artinya, ini harus dilakukan secara rigid, hati-hati, sesuai peraturan, agar benar-benar tidak melanggar hak pribadi seseorang." Dia menambahkan, pemantauan terhadap jejaring sosial, secara teknis juga sangat sulit mengingat besarnya trafik pengakses situs jejaring sosial dari Indonesia. "Trafik jejaring sosial di sini per hari bisa mencapai 50-60 juta." Pengawasan bisa dilakukan bila memang sudah ada target yang jelas. Upaya itu pun dasarnya harus benar-benar kuat sehingga tidak melanggar hak asasi seseorang. Gatot mengakui, hal tersebut sudah pernah dilakukan dalam aksi pemantauan untuk pemberantasan kasus terorisme. Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII), lembaga pengawasan keamanan jaringan telekomunikasi berbasis protokol internet, mendapat permintaan dari Densus 88 untuk mengintai tersangka kasus terorisme.
"Namun ID SIRTII hanya sebatas memberikan catatan log file trafik data yang bersangkutan," kata Gatot. Wakil Pimpinan DPR dari Fraksi PKS, Anis Matta, mendukung upaya pengawasan di situs jejaring sosial Twitter dan Facebook. Syaratnya, kata dia, pengawasan itu tidak mengganggu kebebasan masyarakat dalam bertukar informasi. "Rencana ini bagus, namun tidak harus mengganggu kebebasan masyarakat," katanya kepada wartawan, di kantornya, Selasa 22 Maret 2011. Ia juga mengatakan bahwa tak mungkin pemerintah bisa mengawasi semua akun Twitter atau Facebook, karena banyaknya pengguna kedua situs tersebut. Indonesia sendiri memiliki lebih dari 35 juta pengguna Facebook dan merupakan negara kedua terbesar pengguna Facebook setelah Amerika Serikat. Sementara di ranah Twitter, Indonesia berada di peringkat tiga terbesar setelah Amerika Serikat dan Brazil, dengan persentase tweet 14,52 persen dari seluruh tweet yang berseliweran di Twitter Oleh karenanya, menurut Anis, sebaiknya akun-akun yang telah diketahui bermasalah saja yang perlu diawasi dan ditelusuri, agar tidak menimbulkan kecemasan di masyarakat.